8.10.2011

Berlalu, sudah!

Fajar sudah kembali datang saja, kali ini pula bersama rasa rindu mengendap-endap di lorong menuju ruang ungu beratapkan langit hitam bersama engkau wahai si murah hatinya.
Puas saling menghujat dan memaki, ketika tempias hujan berhamburan di atas wajah dungu kita. Meski sadar sang perawan tua menggerutu sewaktu menimba air dari sumur berjelaga,
namun kegilaan merah muda mengubah dipan mendadak jadi sekarung bulu angsa.
Mengusap alismu, mencium hidungmu, menatap wajah lelahmu, semua bagai candu yang terus menghasut………. saat itu.

Hingga samudra membungkam tandas, dan memohon belas waktu begitu mahal.
Maka aku menyerah, dan menggulung romansa dua masa panen padi, melanjutkan kehidupan pada dini hari. Dan cemooh rutinitas tamat menguliti pedasnya kisah itu, sayang. Yang ada kini hanya aku, lalu dia, atau sebaliknya. Bukan kamu, dan aku. Meski hidup dalam getaran lidah serupa, ternyata bahasa telah hengkang dari cangkangnya. Tidak mengerti kemana dia arahkan ujung jari pada akhirnya.

Jika sudah sempat dilingkarkan sumpah pada jari manis ini, mungkin buahnya sudah beranjak balita. Merangkak berusaha terlepas dari kulit, membuka lebar mata, telinga, serta menangisi perut kosongnya.

Namun tidak itu pilihan kita. Lihat sekarang, aku menatap langit seorang diri.
Sementara engkau sibuk mengumpulkan wajah-wajah maya di atas sketsa.
Saling menyapa tidak kalah pelik perkara, hanya terasa melalui deret huruf dan angka.

Berlaksa Prosa kerap terbit teratur pada tabir putih bom modernisasi.
Tidak lupa sajak mendayu nan sedih, menghantui petang dan pagi. Maaf,
tetapi aku kehilangan makna. Terlupa seiring ayunan hari yang berlalu seperti cerita Adam dan Hawa.

Surga teknologi tengah menyeret saya pada pekat pesona mereka,
cahaya lampu malam kota Singa juga membius mampus. Habis mengilas pemahaman pada etika, dan bahkan norma susila. Tiada terelak perzinahan lambat laun menjadi sahabat, satu, dua, empat, seratus, seribu.
Semua biasa, semua lewat begitu saja.

Wahai engkau si murah hati, rupanya aku tetap si gadis kampung.
Begitu teringat Totto-chan hasil perasan peluh pertama milikmu, sendi kaki ngilu tiada laju suara. Lari dari satu gudang ke kandang lain, berharap ada belas kasihan dan senyum tergambar menatap siang. Olok-olok para cendikiawan tiada tergubris, demi menopang kukuh alasan menenun si kain Turki.

Saya teramat bahagia, tidak ingin menghentikan romansa demi Tuhan sekali jua.
Apalah artinya kekinian, jika tidak aku toleh cerita di balik penjuru.
Mengakui bayangan suram ini juga bagian dari bundal benang kusut tengah diurai sang ujung pangkal. Sedang gapura surau pelarian sudah tidak ada dalam agenda. Letupan melandai menuju tiarap, tersungkur memohon tuk dipenggal.

Wahai embun romansa fajar apa pesanmu kali ini, sebab aku penuh kenyang pada teori sesak hati. Ya, beri aku makna jauh melebihi mati. Karena engkau tahu kecambuk mahamasygul sekujur detik usai kehilangannya.
Rindu….. aku rindu engkau wahai si murah hati ..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

penyimak