8.10.2011

semoga tenang, kirana.


 
Oh cahaya, jangan pagi ini. Aku mohon, redupkan sedikit terik semangatmu. 
Sebab kunang-kunang masih enggan minggat dari silau pelupuk mata,
dan pening tiada tara terus mengelabui pendar warna tirai jendela.
Tentu, tentu saja, andai hari ini aku terbangun sebagai kupu-kupu, pasti rasanya akan sangat jauh berbeda.
Dan rumah pilihanku mungkin jatuh pada Lavender, atau Bakung seperti penghuni taman nenek di Bethesda.
Tanpa perlu pusing menimbang naluri, logika, emosi, serta segudang syarat jadi manusia.
Ya, kalau hari ini aku terbangun sebagai sang makhluk satu hari, pasti paru-paruku penuh nyanyian doa.
Tapi sayang, para umat belum mengumpatku dengan panggilan gila, sama sekali, tanpa terkecuali.
Bahkan ketika aku tega mengisi takdir lewat dusta dan mimpi. Memupuk harap bala bantuan segera menyergap secara sukarela.

 Mereka terus hening, bergeming, sampai akal waras kacau di tempat.
Maka kukibarkan bendera putih, panjiku koyak berhantaran lalu menguap.
Engkau mungkin sangat menyayangkan kekalahan ini, pada cobaan sepele berdurasi kurang dari satu masa panen padi.
Namun mau bagaimana lagi, jangankan iman untuk bertahan, ide mengundang iblis pun sudah muak bertengger di balik halaman.
 Sehingga hanya pilihan terakhir ini saja yang tersisa. Walau toh aku sangat yakin bila engkau ada di sini, pasti cibir sinis sudah bertengger seperti biasanya.
Dimana sih lusinan iming-iming yang konon gencar tersisip saat nikmat masih menjadi daulatmu?
Apa itu juga termasuk bukan muhrimku? Ah, jika memang demikian upah khilaf, maka percuma saja kukuh membantah.
Kisah seratus dua puluh dua malam, seribu tiga ratus empat puluh dua suratan.
Mari tutup singkat kurang dari dua puluh empat jam. Tunduk pada mahkota sebelas empat musim, dan daging dua puluh bulan.
Sekonyong-konyong linglung, berfikir sebam, lambat laun angkara mulai merasuki kekosongan.
Diiring kesadaran bahwa benih busuk yang ditebar, tuaiannya tidak melebihi secangkir emosi.
Benar inikah misteri karya nan maha agung itu? Syair pahit langganan para pujangga dan pecundang amatir dunia.

Kepalang disiksa oleh tirani sinting jagad fana, sekalian aku berangus jejakmu wahai penitip nyawa.
Biar tak akan tercatat akhirnya aku pernah rela nafasmu berhembus pada padma.
Sakit, pikiranku sakit, jantungku sakit, hatiku sakit, rahimku sakit, telapakku sakit.
Sudut rahasiaku habis berlinang darah, mengusir pergi memori kata Kita.
Meregang hidup berhias kelebat pahit, seret paksa tanganku pada candu ironi dunia.
Oh sial, mengapa engkau bergegas menjemputku duhai cahaya.
Pergi dan datanglah barang sepuluh menit lagi, aku akan menyelesaikan melodrama ini segera.
Tapi tunggu, siapa itu? Suara berat itu akrab di telingaku.
Mata abu itu sepertinya pernah berbicara padaku lewat tangis kelu. Siapa? Dia panggil aku Kirana.
Ah ya, aku ingat sekarang, kau yang membuatku ingin jadi kupu-kupu.
Kau yang membuatku memutuskan kembali pada debu. Duh, habis sudah jatah sepuluh menitku, apa katamu? Jangan mati?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

penyimak