8.10.2011

MERDEKA. ?




Kepul asap serta debu berhamburan menerjang wajah kuyu sang pejuang. Dia yang dulu rela menoreh luka pada jiwa muda demi lumbung padi, demi gubuk derita, demi kubur tetua, demi jerit dan tangis, serta bisikan kata MERDEKA. Ada perasaan pedih sesekali mengibas rusuk bagai mual saat berpuasa di bulan Ramadhan, atau mungkin lebih mirip cambuk malu ketika Belanda menelanjangi tubuh cekingnya dari seragam prajurit buatan nona Sindai. Lelaki itu terus berjalan meski lumpur di kaki terus menelan tumit walau perlahan. Sebab sepoi angin sepertinya tengah mengamit serpih memori nan beranjak lapuk –harta terakhir yang dia punya, seiring panjat doa agar hilanglah gerutu berganti ikhlas dan sekantong syukur. Ah ya, kesendirian serta kunjung senja bukan pilihan bagi sang macan kumbang. Matanya kini lamur, pun tiada jelas pekik ronta caci maki, atau sembur ejek kaum muda sekeliling menganggap perang bambu hanya sebuah dongeng uzur belaka.

Dan dia pasti cuma akan menyungingkan senyum manis tepat seperti pada menit itu, saat ratusan mata tengah memandang dengan tatapan paling sinting sedunia. Entah karena sepasang kemeja dan celana hijau lumut serta baret jingga adem ayem bertengger di kepala, atau karena gembolan sayur di punggung si Tua. Seraya bersiul lagu Gesang, disulutnya sebatang rokok hasil sedekah pedagang asong. Pria muda penuh canda yang sedang asik menggoda waria ketika sang pejuang tergopoh duduk di tepi trotoar. Tak ada percakapan diatara mereka kemudian, hanya sekilas ulur tangan serta bungkus rokok buatan Kediri.
Tiada ternyana lalu-lalang kendaraan terasa melambat, onar hiruk-pikuk menjauh dari pendengaran, pula duka yang tadi dipanggulnya menguap bersama tiap sesapan rokok.

Oksigen rupanya menyelinap pelan-pelan sedari tadi, habis sudah persediaan sekujur rongga di kepala. Menguap sekali, meregang otot, menepuk gembol sayur, si Tua mulai berbaring di bawah Menteng kering tanpa rentet buah. Ditutupnya wajah dengan baret, kaki tersilang walau terasa keram. Satu menit, satu jam, satu hari, waktu berlalu dan sang pejuang masih menikmati lelah. Pemuda pedagang asong tergelitik diamnya, dia mendekat menyolek si bapak. Membisikkan nama yang pernah disebut sekali saja.

“Pak Elvin, pak,…… bapak kenapa masih tidur di sini? Saatnya ke gereja pak, ini hari minggu lho”.

Lonceng memang terdengar mendenting lembut beberapa menit kemudian, namun si Tua tetap kaku. Menggumam kata Punten, pemuda itu menyibak dagangannya ke trotoar dan takut-takut sedikit gemetar mengangkat baret perlahan. Tidak ada hembus nafas, tidak ada rona merah muda, tidak ada tatap sayu. Sang Pejuang gugur dalam tidur. Dengan senyum dan serakan koin serta pulau lembaran seribu di tepi pinggangnya.

Kini berganti degup gila menghantam jantung si pemuda, kalap dia menggerung Astagfirullah bagai kumandang azan. Bukan karena kepergian si Pejuang kemerdekaan, bukan juga karena kehilangan satu teman dalam polusi siang. Namun pada skenario lakon pria yang telah memberi Keroncong untuk boleh terdengar merdu hingga sekarang, untuk udara bebas terhirup tanpa takut terjajah, untuk pendidikan setinggi langit melampaui nalar, untuk kredit motor dan sarapan rupiah para mentri. Sang pemuda menangisi harga seorang pejuang di mata bangsa negrinya sendiri.Tergeletak renta tak bernyawa bagai pengemis di jalan raya .. 

photo added by: Asep Yusuf Tazul Aripin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

penyimak