8.15.2011

November, 15



Katamu kita akan kembali berlari di bawah air terjun Kidul. Kan kamu sudah janji ahad besok aku boleh pakai celanamu yang biru. Walau pasti saat aku kenakan nanti, mulut cerewetmu sibuk berkicau bilang jangan ada senoktahpun boleh numpang lewat barang sekelebat. Selain itu aku juga sudah sibuk mendandani rambutku lho. Membuat poni baru serta mewarnainya seperti langit senja, sebab katamu bentang bias surya paling indah ya tepat disana.
Berharap kamu kelak memujiku bagai mahakarya mitologi Yunani, satu dari para Kharis.


Tampaknya kamu lupa waadmu sendiri ya? Atau kamu sedang sibuk menggaruk-garuk gatal punggung? Iya, aku mengerti. Pasti gemeretak tulang telah membuat kesal bukan kepalang, apalagi helai rambutmu satu persatu meninggalkan kulit kepala. Tapi bukannya aku sudah mengirimkan Sari dari India, biar kamu bisa menggelung dan dijadikan hiasan bagai bola-bola pohon natal. Atau jangan-jangan tukang pos sialan itu telah berdusta? Dia malah membuka kardus kecil ciptaanku dan merengutnya darimu? Sehingga kini kamu memutuskan tidak mau menemuiku lagi untuk selamanya? Oh, bolehkah aku menebus kesalahan ini, maka lekas kulayangkan kembali tenun terbaik seantero Nusa Tenggara.
Jawab dong, kenapa sih kamu diam saja!


Oke, aku mengaku bersalah. Memang seminggu lalu aku plesir bersama mereka. Bukan, bukan aku tidak ingat kamu. Habis kamu sendiri kan yang bilang aku boleh menikmati kebebasanku. Katamu aku harus merayakan hidup, dengan selalu diiringi bismillah dan alhamdulillah. Sekoper wejangan itu selalu aku tunaikan. Dan kamu tahu aku bodoh dalam mendustai kamu. Ngomong-ngomong tentang plesir kemarin, aku akhirnya melihat koral kuning seperti di halaman Nat-Geo. Diluar dugaan ternyata aku jijik terhadap jeroan laut. Dadaku sesak bahkan tepat awal kupecah riak ombak. Kok tega-teganya kamu bilang mau mengajakku menjelajahi bahari. Eh, aku ingat betul rasa sesak bercampur ngeri itu, apakah begitu juga rasanya perih paru-parumu sekarang? Atau lebih dasyat lagi? Kamu tidak pernah cerita padaku tahu, jahat kamu! Malah sibuk kelakar jadi veteran pemburu tabib.


Tadi pagi pensil pemberianmu patah, kemudian cawan hasil kelas kita tak sengaja tersenggol dari atas meja, jatuh dan pecah. Orang paling idiot pun tentu akan tergelitik jika sial bagai kereta. Dan ternyata kamu sedang meregang kata. Saat kusibuk bertempur melawan kepul debu serta asap, apa katamu padaku?
“Aku akan bertahan!”.
Sekarang mana janji-janjimu itu?! Jahat kamu!
Tidak akan ada menari di tepi pantai bermandi cahaya rembulan?
Tidak akan ada jemari mungil mencengkeram koyak piama?
Ah, sedang apa sih kamu meringkuk di kubangan penuh tubuh-tubuh dingin? Ayo angkat pantat malasmu dari timbunan tanah merah yang sungguh aku benci itu!
Ini kerudungmu, pakai ya! Aku tunggu di bawah pohon Kamboja tepi sungai tempat kita biasa menghabiskan kopi ibumu...

photo added by my friend in south: Asep Yusuf Tazul Arifin. miss you bro!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

penyimak